Margie, Ilen Dan Elang I
Panggil aku Margie. Masih single, dan (semoga
terlaksana) akan menikah beberapa bulan lagi. Aku sobat kentalnya Sang
Elang yang badung itu. Kalian pasti sudah baca pengalamannya yang
unbelievable. But, I'm the witness. He's a lucky one!
Apa lagi yang aku mesti kasih tahu? Ini saja aku sudah nekat,
berani malu, karena namaku sudah diketahui. Nama asli. Elang juga sih,
mentang-mentang paling cuek, paling badung, paling gila, dia dengan
asyiknya bercerita segalanya. Srida, itu asli. Ilen, itu juga. Setahuku
yang disembunyikannya adalah nama istrinya. Venus ya, dia bilang?
Bohong! Aslinya khan.., sudah deh, paling disensor sama si Dayak itu.
Elang memang sableng. Kerjanya tiap hari pasti cerita yang
aneh-aneh. Dia suka hal-hal yang berbau magis dan serem (bagiku). Dan
dia pernah mengaku kalau cita-citanya dulu itu adalah menjadi vampire.
Biar gampang naklukin gadis-gadis, begitu 'udel'nya. Dan satu lagi
kegemarannya. Dia paling doyan juga segala hal yang berbau ngeres. Tiap
hari dia punya cerita soal seks. Kadang aku bilang sama dia, "Lang,
segala hal pastilah mengingatkanmu pada seks!" Si tengil itu cuma
nyengir. Salah seorang rekan di divisiku malah menyebutnya germo.
Karena teman ceweknya banyak, dan tidak tahu kenapa, artis-artis yang
suka main ke kantorku bisa cepat akrab sama dia. Eh, aku kok malah
cerita soal Elang. Ke-GR-an entar dia.
Aku satu divisi sama Elang sejak aku masuk kerja. Atasanku seorang
(kataku masih, kata Elang nggak) perawan tua. Sedangkan empat orang
lainnya yang sudah kawin dua orang, plus Elang.
Selain itu aku punya teman dari divisi lain. Salah satunya bernama
Eca. Eca ini anak Bandung, suaminya orang Jakarta. Sama-sama kerja di
kantorku. Eca di administrasi, suaminya di teknik. Sebelumnya sorry,
kalau nama Eca yang asli kusembunyikan, aku tidak setega Elang. Tapi
kalau ketahuan juga, (seperti kata Elang) cuek sajalah. Toh, di
kantorku juga banyak yang rahasianya sudah diketahui umum. Paling kalau
ada teman sekantor yang baca, dia nyengir-nyengir kalau ketemuku. Atau
malah kalau salah seorang penyiar kondang di kantorku (yang ketahuan
memang punya kelainan itu) mendekatiku, pengen mencoba 'main' denganku.
Aku pasang tarif saja. Hihihi, lumayan buat modalku kawin.
Eca ini suka sama Elang, suka-suka gitu deh. Kalau menurutku,
paling dia suka sama bulu Elang yang lebat di mana-mana itu. Kecuali di
'situ', aku tidak pernah lihat sih. Elang sih bilang kepadaku kalau Eca
pernah menggodanya di ruang presentasi departemen kami. Aku pertama
nggak percaya, tapi setelah kilik-kitik si Eca, dia memang kelihatannya
suka. Aku bilang Elang, sikat saja. Elang hanya bilang, "Mending sama
kamu. Single dan tidak bikin masalah. Kalau ketahuan si Ndoet gimana?
Lagian bentar lagi aku menikah kok." Ndoet itu suami Eca. Iya Elang
memang akan menikahi Venusnya. Dan dia lumayan 'kaku' untuk berbuat
macam-macam sama cewek lain. Kecuali dengan Srida dan Ilen (kecelakaan,
ujarnya), dia 'lurus'. Aku tahu, karena aku dan dia selalu berbagi
rahasia. Senang-senang boleh, katanya, tapi cuma gitu doang, tidak
menjurus ke ranjang. Salut juga aku. Padahal sih banyak yang mendekati
dia. Sudah ah, hidung si Elang makin mengembang entar, kalau aku
membanggakan dia.
Suatu malam Eca meminta aku datang menemaninya saat suaminya harus
memasang stasiun transmisi di luar kota. Dia dan aku bercerita, saling
berbagi rahasia. Dia mengatakan lagi padaku kalau dia tertarik kepada
Elang. Eca cerita fantasinya tentang Elang. Dia memintaku menelepon
Elang, karena Elang adalah teman baikku.
Entah mengapa, aku tertarik dengan ceritanya dan fantasinya
terhadap Elang, aku setuju untuk menelepon Elang. Kami menuju ruang
tamu Eca dan menelepon Elang. Kami berdua duduk berdekatan di dekat
telepon, menempelkan telinga di gagang telepon. Mendengarkan
percakapanku dengan Elang.
"Elang, aku di tempatnya Eca nih."
"Heh, ngapain?"
"Nemenin Eca. Suaminya ke Sumatera", kataku.
"Eh, lu ke sini dong."
"Nggak ah."
"Ayolah, aku mau ngajak lu ke Bengkel. Eca tidak pernah diajak lakinya having fun nih."
"Pergi saja."
"C'mon Lang, you're my best friend."
"Bentar lagi ya. Aku mesti mandi dulu. Habis tennis tadi di Senayan."
"Oke. kutunggu."
"Eh, omong-omong, kamu dan Eca pakai baju apa sekarang?"
"Kenapa?"
"Aku mau kalau aku datang, lu-lu pada pakai baju yang seksi. Tembus pandang kek, mini kek." Gokil si Elang datang lagi.
"Wuu.."
"Kalau nggak, aku balik lagi."
"Sudah ah! Cepat ke sini."
"Iya, iya. Sabar napa?"
"Pokoknya kutunggu."
"Tidak mesti bawa Venus khan? dia paling ogah ke tempat gituan."
"Iya."
Telepon pun ditutup. Aku hanya tersenyum waktu Eca bilang kalau dia terangsang mendengar suara Elang yang katanya seksi.
"Gimana kalau kutelepon lagi dia? Kali ini lu yang ngomong", kataku pada Eca.
"Ah, malu dong."
"He! Dia asyik-asyik saja kok kalau diajak bicara."
"Gila apa?"
"Benar. Lu bisa cerita apa saja ke dia."
"Tapi khan dia entar ke sini."
"Nanti ya nanti. Sekarang lu puas-puasin dengerin suaranya itu.
Beda lho di telepon dengan yang langsung. Di telepon itu, gimana ya?
Lebih menggairahkan", kataku sambil tanganku meraih gagang telepon
kembali. Eca cuma bisa diam memandangku.
Telepon Elang kembali diangkat, aku memberikan kepada Eca setelah bilang ke Elang,
"Anggap saja ini telepon 0809 itu, Lang."
Maksudnya telepon Japati yang tarifnya bikin kantong kebakar itu.
Sinting tuh, orang yang mau dikibulin gitu. Aku meninggalkan Eca,
menuju kamar tidurnya. Di situ pun ada telepon yang diparalelkan.
Dengan hati-hati aku menguping. Biasalah, perempuan dimana-mana suka
yang kayak gini nih. Pertamanya Eca agak canggung. Tapi kemudian nggak.
Apa lagi ketika Elang mulai miring. Menggoda Eca dengan bermacam
pertanyaan, apalagi dia tahu Ndoet tidak ada. Gila tuh Elang. Sex
Maniac! Aku tersenyum sendiri mendengar gombalnya Elang. Makin lama
makin parah omongan mereka berdua. Ya itulah Elang, kalau sekedar gini
doang, pasti diladeninya. Ada-ada saja yang diceritainnya. Aku senang
mendengar mereka berdua cepat akrab dan terbuka. Mungkin Eca nggak tahu
kalau aku ngupingin dia, jadi dia meladeni kesablengan Elang. Elang
menyuruh Eca menyentuh tubuhnya, dari dada sampai vaginanya,
mengelusnya, dan mengatakan pada lelaki itu bahwa kewanitaan Eca telah
basah. Saat Eca menjawab bahwa vaginanya sudah basah sekali, aku tidak
dapat menahan diri untuk tidak menyentuh punyaku sendiri. Eca
menceritakan pada Elang dengan sangat mendetail bahwa vaginanya bersih,
tercukur rapi. Aku terbaring di ranjangnya dan entah kenapa, tiba-tiba
mengkhayalkan apa yang Eca katakan. Dia berbisik kepada Elang, bahwa
saat ini dia sedang mengelus klitorisnya. Aku benar-benar tidak tahan
lagi. Kubuka celana pendek yang kukenakan dan celana dalam sekalian,
sehingga aku dapat memainkan vaginaku dengan jari-jariku.
Tanpa sadar aku mengerang. Erangan itu didengar mereka berdua. Lalu
Elang bertanya padaku kenapa dari tadi tidak ikutan di telepon.
Kubilang aku cuma kepingin dengar, dan edannya aku ikut terangsang.
Kubilang kalau saat ini aku sedang mengelus vaginaku juga. Elang senang
mendengarkannya, dua orang wanita muda masturbasi sambil dia membacakan
cerita. Tiba-tiba Eca masuk ke kamarnya. Telanjang bulat. Dia berbaring
di sebelahku.
"Pakai speakernya saja, Marg, jadi aku bisa ikut dengar."
Aku melaksanakan permintaannya.
"Aku di kamar sekarang, Lang. Dengan Margie", kata Eca.
"Hei! Apa yang kalian lakukan?" Agak kaget si Elang.
"Eca denganku sekarang. Di tempat tidur."
"Wah, asyik juga nih." Elang berseru, aku tahu dia pasti sambil senyum jahil, "Aku tuntun ya!"
Aku nggak tahu kenapa, Eca juga. Kami cuma menjawab,
"Ya, Lang."
"Kalian sudah pernah berhubungan dengan sesama perempuan sebelum ini?" tanya Elang.
"Belum", jawabku.
"Belum, Lang. Tapi aku pernah mengkhayalkannya", jawab Eca.
"Great. Aku akan menjadi penunjuk jalan", kata Elang.
"Eca, maukah lu menyentuh Margie?"
"Ya", jawabnya.
"Sentuhlah payudara Margie."
Tangan Eca menyelusuri tubuhku, sampai ke batas bra yang kupakai.
Dengan kedua tangan, kubuka t-shirt yang kupakai. Puting payudaraku
mengeras dan aku dapat merasakan tangan Eca yang lembut membuka hook di
daerah depan bra yang kukenakan. Jemarinya membelai payudaraku. Aku
mengeluh pelan. Sensasi yang berbeda kurasakan, tidak seperti rasa yang
diberikan Daud, pacarku, kalau sedang menyentuhku.
"Sekarang giliranmu, Marg", kata Elang.
Aku sedikit gemetaran karena sensasi aneh ini. Aku menggerakkan
telapak tanganku, menyentuh dada Eca yang mulus dan terbuka menantang.
Aku dapat merasakan tubuhnya yang hangat. Putingnya lebih kecil dari
punyaku dan terasa sangat berbeda. Aku dapat merasakan vaginaku mulai
basah dan memanas saat kudengar Elang memberikan petunjuk selanjutnya.
"Sekarang saatnya untuk saling merasakan kewanitaan kalian
masing-masing. Rasakan perubahannya, rasakan", kata laki-laki itu.
Eca yang mulai duluan, menggerakkan tangannya. Perlahan-lahan
kumerasa jemarinya menyentuh pangkal pahaku. Dia menggerakkan jemarinya
mendekat ke vaginaku, dan lalu mengerang saat merasakan vaginaku yang
basah dan lembut.
"Anggaplah itu vagina kalian sendiri." Elang memberikan instruksi
lanjutan. Eca menggosok bagian luar vaginaku, membuatku menaikkan
pinggulku ke atas.
"Oooh, Margie. Punyamu lebih indah dari punyaku. Oooh, aku sungguh senang dapat menyentuhnya, membelainya", erang Eca.
Saat jemarinya memasuki lubang kenikmatanku, aku merasakan kalau
aku akan mencapai orgasme. Sentuhannya membuat gerakanku menjadi liar.
Eca tampaknya tahu bagaimana aku menginginkan dia menyentuh vaginaku.
Dia menggosok klitorisku, membuat benda kecil berwarna merah muda itu
menjadi semakin keras dan menegang. Aku mengerang hebat, melenguh
sejadi-jadinya. Elang tahu kalau aku belum berbuat apa-apa buat Eca.
"Marg, sekarang kamu harus menyentuh punya Eca."
Aku menggerakkan tangan ke arah bawah tubuh Eca, menuju
kelembapannya yang telah basah sekali. Ketika kuku-kukuku mengelus
pangkal pahanya, aku dapat merasakan getaran aura yang memancar dari
selangkangannya. Aku memasukkan jari tengahku ke dalam vaginanya,
seperti yang kulakukan tadi ke vaginaku. Dengan gerakan yang cepat, aku
memasukkan dua jari dalam sekali ke lubang kenikmatannya. Eca mulai
mengerang dan melenguh, tubuhnya terangkat dari atas ranjang, berusaha
memasukkan lagi jemariku lebih dalam.
"Sekarang, kumau kalian menghisap jemari kalian tadi." Perintah
Elang. Karena Eca sudah sangat terangsang, dia langsung memasukkan
jarinya yang tadi menyentuh kewanitaanku, menghisapnya, mengecap rasa
cairan vaginaku di antara bibirnya. Melihatnya, aku melakukan hal yang
sama. Menjilati jari tengah dan ibu jariku, aku merasakan cairan
kewanitaan Eca yang entah bagaimana aku dapat menerangkannya.
"Siapa yang ingin vaginanya dijilati?" Elang bertanya dengan nada mendesak, mengerang.
Aku dan Eca pada saat yang sama hanya bisa menjawab, "Aku mau."
"Eca, letakkan kepalamu di antara paha Margie", kata Elang.
Eca menurut, kepalanya turun ke bawah. Aku merasakan rambutnya yang
panjang dan lembut itu menyapu tubuhku. Sensasi yang lain tercipta
kembali.
"Eca, julurkan lidahmu, putar mengelilingi klitoris Margie."
Eca melakukannya. Aku merasakan lidahnya yang basah dan hangat
berputar-putar di bibir vaginaku, lalu menjilati klitorisku.
Bermain-main di situ, memutar, menjilati, dan menghisap dengan
mulutnya. Aku mengangkat pantatku dari tempat tidur sehingga aku dapat
menyorongkan vaginaku lebih jauh ke wajah Eca. Dia menggunakan lidahnya
seperti jemarinya dan menggerakkannya keluar masuk lubang kenikmatanku.
Ini merupakan perasaan yang paling luar biasa yang pernah kurasakan.
Lidahnya yang mungil dan berbintil kecil ini berbeda dengan punya Daud.
Apakah dia biasa seperti ini? aku rasa nggak. Eca hanyalah tahu dan
mengerti apa yang disukai wanita dan benar-benar memaksimalkan
sentuhannya di tempat-tempat rahasia wanita.
Mendengarkan suara erang dan jeritan kami, aku tahu Elang pastilah
sangat terangsang. Saat Eca menjilati cairan yang keluar dari liang
rahimku, aku dapat melihat dia menggosokkan vaginanya dengan tangannya.
"Eca, Eca saat ini sedang menjilati dan menghisap klitorisku, Lang. Egh, luar biasa", kataku.
"Marg, tanyain Eca apa dia punya dildo?" kata Elang.
"Apa itu Lang?" Eca menghentikan aktifitasnya.
"Penis buatan, Ca." Jawab Elang.
"Wah, nggak punya Lang. Padahal, pasti nikmat kalau vaginaku disodok-sodok."
Eca berkata dengan suara serak,
"Sayang kamu nggak di sini, Lang."
"He eh. Tapi, apa kamu punya sesuatu untuk menggantikannya?"
Eca memandang sekeliling, lalu tatapannya tertumbuk pada kaleng body spray dari St Michael.
"Aku punya kaleng body spray. Besarnya lumayan. Kaya senjata Ndoet." "Nah gunakan itu."
Eca mengambilnya. Membersihkannya dengan sepreinya. Aku memandangi tubuh mulusnya yang putih itu.
"Sebaiknya kalian mengambil posisi 69. Letakkan vagina kalian ke wajah masing-masing."
Aku melaksanakan petunjuk Elang. Aku dapat mencium aroma yang khas dari kewanitaan Eca.
"Margie, masukkan tabung itu ke dalam vagina Eca yang lembut itu", kata Elang.
Eca memberikan tabung berwarna putih dengan tutup krem itu
kepadaku. Aku mendorong 'dildo' itu perlahan-lahan ke dalam vagina Eca.
"Marg.. Ah, masukkan Marg. Uuhh." Eca mengeram.
Saat aku memasukkan lebih dalam lagi, Eca mulai menjilati kembali
vaginaku yang sudah sangat basah itu. Gerakan lidahnya bertambah cepat,
dan bertambah cepat. aku masih memainkan 'dildo' itu ke kewanitaanya.
Lalu kurasakan kenikmatan yang makin membesar, orgasme yang semakin
mendekat. Aku ingin memuntahkan cairan orgasmeku di bibirnya.
"aaghh", aku mengerang.
Gelombang orgasme pertamaku telah datang. Dan lenguhanku membuat Eca pun mendapatkannya. Aku tahu dari pahanya yang menegang.
"Uuughh", kami melenguh berdua.
Eca menggerakkan pinggulnya dengan liar, berusaha memasukkan
'dildo' itu lebih dalam lagi. Aku dengan bersusah payah menahan tabung
itu agar tidak terlepas dari peganganku. Kaleng body spray itu sungguh
menjadi sangat licin sekarang.
Kemudian kami berpelukan. Melenguh panjang, menikmati sensasi luar
biasa yang baru saja kami lewati. Kudengar di speaker pun Elang sedang
mengerang. Nafas beratnya terdengar satu-satu. Kupikir dia pun orgasme,
atau malah sudah ejakulasi. Huhh! Sebuah pengalaman yang sangat
fantastis. Kami bertiga dapat orgasme bersama.
"Thanks, Lang", kataku.
"You very welcome."
"Hei. Kita tetap pergi ke Bengkel Night Park, khan?" Tanya Eca.
"Iya." Telepon pun di tutup Elang.
Setelah itu aku dan Eca saling berpelukan. Beristirahat sebentar, lalu mandi. Setengah jam kemudian Sang Elang datang.
Bersambung ke Bagian 02
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
1915